Baru
kali ini aku memberanikan diri keluar dari wilayah Tanjung Priok dengan
mengendarai motor. Biasanya aku memilih naik kendaraan umum atau naik taxi
sekalian daripada harus olahraga jantung melintasi keramaian Kota Jakarta dan sikap
ugal-ugalan para supir angkot dan metromini. Sebuah keterpaksaan karena harus
mengantar karib lamaku ke stasiun Kereta
Api Senen. Karibku tentu tidak terima kalau aku katakana takut naik motor di
kepadatan lalu lintas, karena ia tahu
persis bagaimana lincahnya aku berkendaraan sewaktu masih kuliah dulu.
Sepanjang
perjalanan aku lebih sering menepi atau masuk ke jalur lambat, bukan karena
ingin melambatkan laju kendaraanku, atau ada keperluan lain untuk mampir di toko
atau tempat lain. Sikap berkendaraan yang tegang sepertinya dirasakan oleh
temanku. Itu aku ketahui bagaimana kedua lututnya merapat menekan pahaku dan sekali-sekali
mengingatkanku untuk berhati-hati. Sesungguhnya aku sudah teramat hati-hati
hingga kerap melirik kaca spion untuk memastikan tidak ada kendaraan dari
belakang yang akan menyalip ketika membelok atau memgambil jalur lain. Namun
demikian mataku selalu awas menatap ke depan karena target dan tujuanku berada
di depan.
Sepintas
aku berpikir dan merenung, rupanya berkendaraan di jalan raya ini seperti menjalani
kehidupan juga. Kehidupan masa silam di
belakang ternyata tetap kita perlukan sebagai pembelajaran untuk mawas melaju
ke depan. Tetapi kita tidak boleh terpaku terlalu lama dengan kenangan masa
silam, dan melupakan arah masa depan yang kita tuju. Masa silam hanya perlu
dalam lirikan sepintas, sedangkan pandangan penuh tetap ke arah depan.
Bayangkan jika dalam berkendaraan anda memberi porsi perhatian yang terlalu
besar pada kaca spion yang kecil, maka kemungkinan anda akan menemui kecelakaan
dan hambatan ke masa depan. Coba kita perhatikan diri kita saat berkendaraan,
ternyata kita tidak pernah melepaskan pandangan ke depan walau harus sering melirik kaca spion. Kita
tidak pernah melihat kaca spion terlalu lama, bahkan kita tidak sungguh-sungguh
melihat kaca spion itu. Kita hanya meliriknya dan pandangan kita tidak pernah
lepas ke arah depan.
Tampaknya
demikian pula kehidupan yang harus kita jalani. Kita memang perlu sesekali
menengok masa silam sebagai sebuah pengalaman dan pembelajaran, namun kita
tidak boleh larut dengan masa silam karena roda kehidupan selalu bergerak ke
depan dan tidak berhenti di masa lalu. Bagi saudara-saudara yang mempunyai masa
lalu yang menggembirakan, syukurilah sebagai Rahmat Allah yang terlimpah kepada
kita, tetapi jangan larut dalam nostalgia romantisme yang berlebihan.
Sebaliknya bagi saudaraku yang memiliki masa silam yang menyedihkan, jangan
larut dengan kesedihan. Bangkitlah menatap masa depan.
Dari catatan lama
Zulkomar
0 komentar:
Posting Komentar