PHILOSOPHY KACA SPION

Selasa, 28 Oktober 2014


Baru kali ini aku memberanikan diri keluar dari wilayah Tanjung Priok dengan mengendarai motor. Biasanya aku memilih naik kendaraan umum atau naik taxi sekalian daripada harus olahraga jantung melintasi keramaian Kota Jakarta dan sikap ugal-ugalan para supir angkot dan metromini. Sebuah keterpaksaan karena harus mengantar karib lamaku ke stasiun  Kereta Api Senen. Karibku tentu tidak terima kalau aku katakana takut naik motor di kepadatan lalu lintas,  karena ia tahu persis bagaimana lincahnya aku berkendaraan sewaktu masih kuliah dulu.

Sepanjang perjalanan aku lebih sering menepi atau masuk ke jalur lambat, bukan karena ingin melambatkan laju kendaraanku, atau ada keperluan lain untuk mampir di toko atau tempat lain. Sikap berkendaraan yang tegang sepertinya dirasakan oleh temanku. Itu aku ketahui bagaimana kedua lututnya merapat menekan pahaku dan sekali-sekali mengingatkanku untuk berhati-hati. Sesungguhnya aku sudah teramat hati-hati hingga kerap melirik kaca spion untuk memastikan tidak ada kendaraan dari belakang yang akan menyalip ketika membelok atau memgambil jalur lain. Namun demikian mataku selalu awas menatap ke depan karena target dan tujuanku berada di depan. 

Sepintas aku berpikir dan merenung, rupanya berkendaraan di jalan raya ini seperti menjalani  kehidupan juga. Kehidupan masa silam di belakang ternyata tetap kita perlukan sebagai pembelajaran untuk mawas melaju ke depan. Tetapi kita tidak boleh terpaku terlalu lama dengan kenangan masa silam, dan melupakan arah masa depan yang kita tuju. Masa silam hanya perlu dalam lirikan sepintas, sedangkan pandangan penuh tetap ke arah depan. Bayangkan jika dalam berkendaraan anda memberi porsi perhatian yang terlalu besar pada kaca spion yang kecil, maka kemungkinan anda akan menemui kecelakaan dan hambatan ke masa depan. Coba kita perhatikan diri kita saat berkendaraan, ternyata kita tidak pernah melepaskan pandangan ke depan  walau harus sering melirik kaca spion. Kita tidak pernah melihat kaca spion terlalu lama, bahkan kita tidak sungguh-sungguh melihat kaca spion itu. Kita hanya meliriknya dan pandangan kita tidak pernah lepas ke arah depan.

Tampaknya demikian pula kehidupan yang harus kita jalani. Kita memang perlu sesekali menengok masa silam sebagai sebuah pengalaman dan pembelajaran, namun kita tidak boleh larut dengan masa silam karena roda kehidupan selalu bergerak ke depan dan tidak berhenti di masa lalu. Bagi saudara-saudara yang mempunyai masa lalu yang menggembirakan, syukurilah sebagai Rahmat Allah yang terlimpah kepada kita, tetapi jangan larut dalam nostalgia romantisme yang berlebihan. Sebaliknya bagi saudaraku yang memiliki masa silam yang menyedihkan, jangan larut dengan kesedihan. Bangkitlah menatap masa depan.

Dari catatan lama
Zulkomar

0 komentar:

Posting Komentar