Sore tadi aku sempat
mampir di sebuah restorant di bilangan Kota Tua sekedar menenangkan diri dari
godaan rindu. Kebetulan cuaca sore agak gerimis. Perlulah sedikit menghangatkan
tubuh dengan secangkir kopi cappuccino rasa mocca kegemaranku . Aku sengaja
mengambil tempat di meja paling depan
dekat jendela menghadap ke dalam agar
leluasa merokok tanpa mengganggu orang lain. Sambil menunggu pesanan minuman
aku sempatkan memberi komentar pada
status Facebook teman-teman dan juga menjawab komentar-komentar pada status
yang aku buat dua jam yang lalu di kantor.
Sore ini aku tidak
membuat status. Aku tidak biasa bahkan tidak pernah menulis status yang
menunjukkan keberadaanku, seperti, “sedang minum kopi cappuccino mocca di
restoran Kota Tua”. Bayangkan kalau dengan status seperti itu teman-teman
FB menyerbu ke restoran. Masih beruntung
kalau hanya minta ditraktir minum. Gimana repotnya kalau dia minta aku
berlama-lama berceritera dengan mereka, bisa-bisa jam pulangku molor.
Akhirnya kopi pesananku
datang juga. Kopi yang siap seduh itu tetap saja aku aduk-aduk lagi untuk
memastikan tidak ada kopi yang mengendap dalam cangkir.Tiba-tiba mataku
tertumpuk pada dua orang wanita di meja pojok dalam yang sedari tadi
memperhatikanku. Aku periksa diriku, mungkin ada yang kurang atau terlihat aneh
di mata mereka. Semua biasanya. Aku menoleh ke belakang jendela dan di kanan
kiriku untuk memastikan bahwa kedua wanita cantik itu betul memperhatikanku,
bukan yang lain.
Aku menarik bibirku
sedikit ke belakang untuk memberi kesan senyum yang santun ketika tatapan mata
kami saling tabrak. Si baju hitam sejenak membalas senyumku lalu menoleh ke
teman di sampingnya. Mereka mungkin berceritera tentang aku, tetapi sungguh itu
wajah yang tak pernah kukenal sebelumnya. Sekali-sekali ia memandang ketika aku
menghirup kopiku dan kembali berbincang dengan temannya ketika aku menatapnya.
Mereka pasti ngobrol soal aku. Mereka mungkin mendiskusikan ketampanan dan
wajah santunku, tetapi aku sungguh tidak percaya dengan keyakinanku.
Semakin lama aku kok
merasa seperti di undang ke mejanya. Menunggu mereka untuk datang ke mejaku
sepertinya tidak baik buat mereka. Senyum-senyum tanpa berkata-kata semakin
lama kok kurang nyaman rasanya. Aku juga tidak mau dianggap sebagai lelaki
dingin yang tidak mengerti komunikasi isyarat. Aku segera menghabiskan kopiku,
berdiri dan berjalan menuju kasir melintasi mejanya. Aku bisa saja berhenti dan
mampir di mejanya, tetapi itu berarti aku harus siap menawarkan diri untuk
membayar minumannya. Aku sih tidak keberatan, tetapi mereka bisa saja
beranggapan bahwa itu adalah bentuk rayuan awal. Aku tentu saja keberatan
dianggap sebagai perayu karena selama ini aku selalu dalam posisi dirayu.
Setelah membayar di
kasir, aku kembali menuju meja kedua wanita itu. Tetapi ternyata meja itu telah
kosong. Di atas taplak hanya ada selembar tissue putih bertuliskan nama dan
duabelas digit angka.