JEJAK LELUHUR DI KAMPUNG SINGKONG

Senin, 04 April 2016


Mungkinkah ada penduduk sebuah kampung
yang tidak mengkonsumsi nasi di tengah lumpung padi bangsanya ?
Untuk mendapatkan jawabannya anda harus berkunjung ke Kampung Cireundeu, Cimahi

Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun secara administratif Kampung Cireundeu adalah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Untuk mencapai Kampung Cireundeu, kita hanya membutuh waktu 30 menit dari Alun-alun Kota Cimahi dan sekitar 2 jam dari kota Bandung. Walaupun telah ditetapkan sebagai desa adat, keunikan cara hidup masyarakat Kampung Cireundeu belum dikenal baik oleh wisatawan. Itu karena Kampung Cireundeu tidak terlalu di publikasikan sebagai obyek wisata, sementara para pemuka adat juga tidak memposisikan desanya sebagai Obyek Daya tarik Wisata, tetapi lebih fokus sebagai kampung yang memelihata tradisi leluhur. Bagi warga Cireundeu, sekecil apapun tuntunan hidup yang di ajarkan leluhur, haruslah mereka wariskan secara turun temurun. Jejak ajaran leluhur itu harus tetap ada. Meskipun demikian, masyarakat Cireundeu sangat terbuka bagi hadirnya wisatawan atau tamu-tamu yang datang. Itu terlihat jelas pada pintu masuk terdapat tulisan Hanacaraka, ” Wilujeng Sumping di Kampung Cireundeu,” yang artinya selamat datang para tamu di kampung Cireundeu.

Mengapa saya menamakan Kampung Cireundeu sebagai Kampung Singkong ? Itu karena masyarakat di kampung tersebut tidak mengkonsumsi beras / nasi. Makanan pokok mereka adalah ketela/singkong yang dapat diolah menjadi bermacam-macam penganan. Salah satunya menjadi rasi atau beras singkong. Jika anda mengunjungi kampung ini, anda dapat membeli oleh-oleh kuliner yang kesemuanya berasal dari bahan dasar singkong.

Tidak terbayangkan bagaimana mungkin mereka tetap mengkonsumsi singkong sementara beras membanjiri pasaran di daerah sekitarnya. Tidak terbayangkan bagaimana kuatnya mereka memegang teguh kebiasaan yang diwariskan leluhurnya selama hampir seratus tahun, sementara leluhurnya tidak pernah melarang mereka mengkonsumsi makanan selain singkong. Pada awalnya, kurang lebih tahun 1918, ibu Omah Asnama, Putra Bapak Haji Ali mengembangkan makanan pokok non beras yang bersumber dari bahan singkong, yaitu rasi (beras singkong) yang ternyata rasanya jauh lebih enak dari nasi berbahan beras. Semenjak itu saudara-saudara Ibu Omah dan masyarakat lainnya mengikuti kebiasaan mengkonsumsi singkong. Sehingga pada suatu masa ketika harga beras melambung tinggi dan masyarakat Cireundeu tetap mengkonsumsi singkong, pemerintah melalui wedana Cimahi berkenan memberikan suatu penghargaan kepada Omah Asmana sebagai pahlawan pangan pada tahun 1964. Masyarakat Cireundeu bangga dengan pahlawannya, dan juga bangga dengan konsumsi makanan yang mereka dapat dari lahan pertanian olahan mereka sendiri. Mereka berpedoman pada prinsip anutan, ”Teu Nyangu Asal Boga Pare, Teu Boga Pare asal Boga Beas, Teu Boga Besa Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat,” yang artinya, tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat.” Prinsipnya dalam keadaan apapun mereka tidak boleh menyerah menghadapi kehidupan.

Jejak leluhur tidak hanya tampak pada pola konsumsi masyarakat Singkong Di Kampung Cireundeu. Jejak leluhur juga tampak pada pola budaya dan kepercayaannya. Masyarakat di Kampung Singkong ini menganut dan memegang teguh kepercayaan leluhurnya yang disebut Sunda Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa dan dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan pada tahun 1918. Salah satu ritual terbesar dari kepercayaan Sunda Wiwitan ini adalah upacara peringatan 1 Suro. Perayaan 1 Suro bagi masyarakat Cireundeu bak peringatan sekelas lebaran Idul Fitri bagi Umat Islam.

Pada peringatan 1 Suro semua mempergunakan pakaian baru. Dengan hati baru masyarakat bersatu membuat gunungan buah-buahan yang dibentuk menyerupai janur, dibuatkan nasi tumpeng rasi yang besar, dihidangkan berbagai hasil bumi seperti rempah-rempah dan ketela (singkong) sebagai hidangan wajib dalam ritual 1 Suro. Pada hari itu dihadirkan kesenian kecapi suling yang dipuncaki dengan Wuwuhan atau nasehat dari sesepuh atau ketua Adat sebagai pesan-pesan menghadapi dunia dan kewajiban menjaga kelestarian budaya yang mereka anut. begitu semaraknya ritual 1 Suro ini, kadang-kadang penduduk dari daerah-daerah lain datang ke Kampung Singkong (Cireundeu) hanya untuk mengikuti acara 1 Suro, dan atau turis-turis lokal dan mancanegara yang hadir hanya untuk menyaksikan jalannya ritual 1 Suro.

Kampung Singkong Cireundeu sendiri tidaklah begitu luas, hanya sekitar 64 ha yang terdiri 60 ha berupa hutan dan 4 ha. untuk pemukiman penduduknya. Hutan mereka terbagi 3 bagian, yaitu :
1.      Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat .
2.      Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru.
3.      Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun.

Masyarakat Cireundeu begitu taat terhadap adat istiadat dan budayanya, termasuk ketaatan terhadap perlindungan hutan di sekitar mereka. Di benak saya tersisa sebuah tanya, apakah cukup bagi mereka mendiami 4 ha lahan sebagai wilayah pemukiman mereka. Padahal seiring berjalannya waktu mereka akan tumbuh dan beranak pinak sehingga dibutuhkan perluasan wilayah pemukiman.  Namun ternyata sepanjang pengamatan saya, mereka ternyata tetap patuh dengan ketentuan adat yang telah digariskan oleh ketua adat dan pemukiman mereka cukup luas bahkan untuk jangka waktu yang lama ketika warga mereka semakin bertambah oleh proses timbuh kembangnya keluarga.

Terlalu banyak hal yang unik di Kampung Singkong Cireundeu ini. Untuk itu saya menganjurkan, daripada menghabiskan masa libur dan petualanganmu di kota bandung dengan wisayta kuliner dan busana yang menghabiskan anggaran, lebih baik anda sempatkan mengunjungi Kampung Singkong Cireundeu untuk melihat begitu kayanya budaya dan tradisi bangsa Indonesia.

Jakarta, 5 April 2016.