MEMBANGUN JEJARING PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

Selasa, 23 Februari 2016
"Saya yakin dan percaya pelaku usaha 
dalam negeri tidak akan pernah mengkhianati konsumen bangsanya sendiri."


Di tengah terik panas kota Jakarta, seorang ibu masuk ke sebuah mini market membeli minuman dalam kemasan botol plastik, lalu keluar menunggu angkutan kota melintas. Rasa haus dan kerongkongan yang kering sungguh menyiksanya. Ia membuka tutup botol plastik dan minum langsung dari botolnya. Tetapi kemudian ia memuntahkan karena merasa aroma dan rasanya tidak seperti biasanya. Setelah memeriksa label kemasan ternyata minuman tersebut telah melewati masa kadaluarsanya. Ia masuk kembali dan memarahi penjaga toko. Penjaga tokopun baru tahu kalau diantara barang dagangannya ada yang kadaluarsa. Penjual hanya bisa meminta maaf dan menggantinya dengan minuman yang lain.
            Kasus-kasus seperti ini banyak dialami oleh konsumen, belum lagi kasus makanan, minuman dan obat-obatan yang tidak memenuhi standar kesehatan. Konsumen yang dirugikan hanya bisa mengeluh dan tidak tahu akan mengadu kemana. Bagaimana masyarakat Indonesia dapat didorong untuk mencintai produk bangsanya sendiri, jika pelaku usaha tidak berlaku jujur dan bertanggungjawab dengan produknya. Bagaimana produk Indonesia akan memperluas jangkauan pasarnya di era pasar bebas Asean, jika penduduk bangsanya sendiri tidak percaya dengan produk dalam negeri.
Pasar bebas Asean sudah di hadapan kita, iklim kompetisi sudah terbuka lebar. Akankah bangsa kita hanya terus menjadi konsumen bagi pasar Asean ? Ataukah kita akan memerankan diri sebagai produsen bagi pasar Asean ? Kuncinya ada pada pelaku usaha dalam negeri yang kompetitif, jujur dan bertanggungjawab akan produknya, serta konsumen yang selektif, kritis dan cerdas memilih dan memilah kebutuhan-kebutuhannya. Pembinaan dan penyadaran pada keduanya ada pada kebijakan pemerintah, dalam hal ini peran Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) yang diharapkan semakin kuat dan berdaya dengan jejaring pengawasnya di daerah-daerah.
Seperti kita ketahui bahwa sistem pengawasan obat dan makanan yang diselenggarakan oleh Badan POM mencakup pengawasan pre-market dan post-market. Pada tahap pre-market Badan POM melakukan standarisasi produk berbentuk regulasi yang akan menjadi acuan bagi dunia usaha dalam memproduksi obat dan makanan. Standarisasi ini harus terpusat untuk menghindari adanya standar-standar produk lain yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pada tahap pre-market ini pula Badan POM melakukan penilaian atau evaluasi terhadap produk yang telah jadi untuk memastikan bahwa obat dan makanan yang diproduksi sudah sesuai dengan standard dan berhak memperoleh izin edar. Penilaian terhadap hasil produksi dapat juga dilakukan oleh Balai POM di provinsi untuk memperpendek jalur birokrasi perizinan, kecuali jika produk obat dan makanan masih potensial terjadi penyimpangan dari standar produk yang ditetapkan.
Disamping melakukan pengawasan obat dan makanan dalam proses pre-market, BPOM juga melakukan pengawasan post-market. Pengawasan terhadap barang yang beredar tetap perlu dilakukan untuk menjamin konsistensi mutu dan keamanan produk dengan melakukan sampling, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan makanan, pengawasan label, pengujian laboratorium, hingga penindakan jika ditemukan penyimpangan dari standar yang ditetapkan, dan atau ditemukan adanya tambahan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Pengawasan post-market ini sangat penting karena berhubungan langsung dengan resiko resiko yang mungkin terjadi pada konsumen. Masalahnya wilayah peredaran obat dan makanan begitu luas, sementara sumber daya yang mengawasinya sangat terbatas. Apalagi kaki tangan Badan POM hanya sampai di wilayah provinsi. Oleh karena itu pengawasan post-market perlu dimaksimalkan dengan perkuatan Badan POM hingga ke wilayah kabupaten/kota.
Mengapa perpanjangan tangan Badan POM perlu sampai ke kabupaten/kota ? Pertama, Balai POM di provinsi tidak memiliki sumber daya manusia dan sumber dana untuk menjangkau pengawasan peredaran obat dan makanan di kabupaten/kota yang cukup banyak. Kedua, obat tradisional semacam jamu dan lain-lain banyak di produksi di kabupaten/kota. Begitupun juga penganan dan jajanan kemasan sebagai oleh-oleh khas daerah, banyak di produksi di kabupaten/kota yang kesemuanya luput dari pengawasan Pre-market maupun post-market. Kebijakan perpanjangan tangan Badan POM memang harus lahir dari regulasi pemerintah untuk menunjukkan bahwa pelaku usaha dan pemerintah sungguh-sungguh siap menghadapi pasar bebas Asean.
Pasar bebas Asean sudah di hadapan kita, iklim kompetisi sudah terbuka lebar. Langkah yang harus segera dibangun oleh pelaku usaha/produsen adalah membangun kepercayaan publik bahwa produksi yang dihasilkan sungguh dapat dipercaya memiliki mutu yang sesuai standar. Untuk itu pelaku usaha harus memberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang produk usahanya, dari nama produk, komposisi kandungan produk, nama perusahaan yang memproduksi, manfaat produk, cara pemakaian/mengkonsumsi produk, label batas kadalurasa, label izin produksi dan edar dari Kementerian Kesehatan dan atau Badan POM, dan yang tidak kalah penting adalah mencantumkan alamat atau nomor kontak untuk pengaduan. Pelaku usaha tak perlu merasa risau dengan kemungkinan aduan-aduan konsumen, karena pada setiap aduan tentu akan lahir perbaikan-perbaikan dan peningkatan mutu produk. Justru dengan mencantumkan kontak pengaduan pada kemasan produk, kepercayaan konsumen akan tumbuh dan merasa aman mengkonsumsi produk yang ditawarkan.
Badan POM sebagai regulator dan pengawas lalu lintas produk makanan dan obat-obatan di Indonesia harus benar-benar jeli melihat dan secara rutin mengevaluasi peredaran produk di lapangan baik produk domestik maupun impor. Badan POM hendaknya pandai pandai memanfaatkan mata konsumen sebagai bagian dari mata rantai pengawasan, baik melalui keterlibatan jaringan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), kerjasama dengan kementerian/lembaga, atau membentukan kelompok “konsumen peduli” di tingkat kecamatan dan kelurahan, dengan memanfaatkan kelompok-kelompok kerja yang sudah ada. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan makanan dan obat-obatan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hak-haknya sebagai konsumen. Dengan demikian timbul kesadaran masyarakat bahwa keterlibatannya dalam pengawasan adalah untuk kepentingan konsumen itu sendiri.
Badan POM melalui Balai-Balai POM di provinsi dan kemungkinan balai balai kecil atau apapun namanya di kabupaten/kota sebenarnya dapat melibatkan secara tidak langsung setiap anggota masyarakat sebagai mata dan telinga pengawasan obat dan makanan yang beredar, baik di pasar modern, pasar tradisional, mini market dan toko-toko grosir. Caranya sangat sederhana dan murah, yaitu dengan memasang stiker alamat dan nomor kontak pengaduan di depan pintu masuk super market, mini-mini market dan toko-toko grosir. Dengan adanya nomor kontak pengaduan, maka konsumen yang secara langsung menemukan ada jenis obat atau makanan yang tidak sesuai standar, atau mengandung bahan-bahan yang membahayakan kesehatan dan rasa aman konsumen, maka konsumen dapat langsung menghubungi nomor kontak pengaduan yang tertera di depan super market dan mini market tersebut. Untuk itu Badan POM dan juga Balai-Balai POM perlu menempatkan petugas penerima pengaduan, atau memanfaatkan teknologi informasi untuk merekam semua pengaduan yang datang dari masyarakat. Untuk itu Badan POM dan Balai-Balai POM hendaknya memberi jaminan kepercayaan bahwa setiap pengaduan masyarakat dapat ditindaklanjuti dengan sebuah tindakan yang nyata.
Jika bukan sekarang, kapan lagi. Jika bukan kita, siapa lagi. Sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam, inilah saatnya Indonesia mengibarkan panji-panji peluangnya dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Saya yakin dan percaya bahwa pelaku usaha dalam negeri tidak akan pernah mengkhianati konsumen bangsanya sendiri. Sayapun yakin dan percaya konsumen yang cerdas dan kritis akan senantiasa mencintai produk bangsanya sendiri. Kepercayaan konsumen Indonesia akan produk bangsanya akan berimbas pada kepercayaan negara-negara Asean sehingga produk obat dan makanan Indonesia dapat diterima oleh masyarakat Asean.
 Catatan :
Naskah ini adalah Juara Pertama Lomba Karya Tulis Dalam Rangka HUT Badan POM RI ke-15, Jakarta, 10 Februari 2016

DIRGANTARA INDONESIA. MERANGKAK, JATUH, BANGUN, DAN BERDIRI TEGAK

Rabu, 17 Februari 2016


Di suatu kesempatan, Kamis, 11 Februari 2016 saya berkesempatan membawa rombongan wartawan media cetak, radio dan televisi, media online dan pejabat humas pemerintah untuk meninjau langsung PT Dirgantara Indonesia (persero) di Jl. Pajajaran No. 154 Pasteur, Bandung. PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) adalah industry pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan industri pesawat terbang ini dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Didirikan pada tanggal 26 April 1976 dengan nama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, dimana BJ. Habibie langsung pemimpin perusahaan ini sebagai Presiden Direktur.


            Mengapa dinamakan Nurtanio ? Ini untuk mengingatkan bagaimana awalnya bangsa Indonesia membangun mimpi memiliki industri pesawat terbang sendiri. Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyadari perlunya sarana transportasi laut, darat dan udara untuk memperlancar roda pembangunan di segala bidang maupun sebagai bagian dari strategi pertahanan keamanan. Akhirnya pada tahun 1946 didirikanlah Biro Perencanaan dan konstruksi oleh TNI AU yang dipelopori oleh Wiweko Supono, Sumarsono, dan Nurtanio Pringgoadisuryo. Ketiga orang ini berhasil membuat mesin-mesin modifikasi. Kemudian pada tahun 1953 kegiatan tersebut dilembagakan menjadi Seksi Percobaan dibawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, yang dipimpin oleh Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisuryo.


             Pada tanggal 1 Agustus 1954 Nurtanio berhasil menerbangkan prototepype “Si Kumbang”. Sebagai bentuk penghargaan kepada desainer dan pekerjanya, pesawat “Si Kumbang” kini dijadikan  monumen di depan gedung utama PT. Dirgantara Indonesia. Bangsa Indonesia terus merangkak, dan pada tahun 1958 berhasil menerbangkan prototype pesawat latih dasar dengan nama “Si Belalang 89”, dan pesawat olah raga “Si Kunang 25”. Untuk tidak kehilangan jejak sejarahnya, Pesawat ini sekarang di simpan di Museum TNI AU di Jakarta. Saat itu usaha membuat pesawat helikopter telah dilakukan dengan membuat prototypenya yang diberi nama “Si Keping”, “Si Manyang”, dan “Kolentang”.

            Sebagai bentuk kesungguhan bangsa Indonesia mempersiapkan industri penerbangan yang nantinya diharapkan mampu memberikan bantuan logistik kepada dunia penerbangan Indonesia sekaligus mengurangi ketergantungan kepada industri pesawat terbang asing, serta dalam rangka mempersiapkan personil yang terampil, maka didirikanlah Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) pada tanggal 16 Desember 1961. Namun lima tahun kemudian duka menyelimuti bangsa Indonesia, pada tanggal 21 Maret 1966 Marsekal Pertama Nurtanio gugur dalam kecelakaan pesawat terbang. Sebagai tanda penghormatan atas jasa beliau merintis industri penerbangan Indonesia, maka LAPIP diubah namanya menjadi Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR).

            Pada tanggal 26 April 1976 LIPNUR berganti nama menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). Inilah moment yang mengibarkan bendera Indonesia bukan hanya sebagai produsen pesawat terbang untuk kebutuhan bangsanya sendiri, tetapi telah mampu menjadi produsen berbagai jenis pesawat bagi negara-negara lain. Perkembangan itu dapat dilihat dari pembangunan fasilitas industry penerbangan di atas tanah seluas 2 hektar, meliputi kantor Direktorat Teknologi, kantor yang bertingkat dan hanggar-hanggar sesuai kebutuhan produksi. Pada masa-masa itulah IPTN membangun kerjasama produksi pesawat terbang dengan negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Prancis, Spanyol. Pada masa itu pula IPTN banyak menerima pesanan-pesanan pesawat dari negara-negara Asia.

            Pada 1 Juni 1982, IPTN dan Boeing Company USA menandatangani persetujuan kerjasama  mendirikan industri pesawat terbang yang lengkap dan diakui dunia internasional, dan mendapatkan sertifikat dari FAA dengan meletakkan IPTN sebagai salah satu kontraktor Boeing. Luar biasanya, pada 11 Nopember 1982, IPTN mendapatkan izin memproduksi sekurang-kurangnya 100 helikopter NBELL-412. IPTN mendapatkan sertifikat dari perusahaan Mc. Donnel Douglas, USA dimana IPTN ditunjuk sebagai supplier yang memenuhi syarat di bidang quality Assyrance.  Pada 11 Oktober 1985 Industri Pesawat Terbang Nurtanio berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, singkatannya tetap IPTN. Masa-masa itulah Indonesia dikenal sebagai Macan Asia dalam industri pesawat terbang.

            Pada tahun 1997 terjadilah krisis financial Asia yang mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di Asia, rupiahpun anjlok di mata dollar. Dalam proses pemulihan ekonomi bersama IMF (international Monetory Fund) mengharuskan ndonesia menerima sejumlah kesepakatan. Salah satunya adalah tidak boleh lagi berdagang pesawat. Padahal saat itu IPTN baru saja menerima pesanan 120 pesawat dan merekrut ribuan karyawan serta mendatangkan mesin-mesdin pembuat komponen. Indonesdia benar-benar jatuh dan terpuruk dan IPTN mengalami kerugian besar.

            Tidak ingin berlama-lama dalam keterpurukan, Indonesia berusaha menghidupkan kembali spirit “Nurtanio 2000”. Dengan spirit tersebut IPTN direstrukturisasi dan berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia dimana pada tanggal 24 Agustus 2000 Presiden ke-IV RI Almarhum KH. Abdurrahman Wahid berkenan meresmikannya. Langkah awal dan teramat pahit yang mesti dilakukan adalah meng-PHK Sembilan ribu lebih karyawan. Praktis pada saat itu PT Dirgantara Indonesia hanya menyisakan tiga ribu pekerja baik di bagian produksi maupun manajemen.

            Mulai tahun 2007 PT Dirgantara Indonesia mulai bangkit kembali dan berusaha berdiri tegak dengan melakukan berbagai kerjasama startegis dan produksi, antara lain dengan British Aerospace, Airbus Military (Spanyol), pembuatan ekor helicopter Super Puma bersama pihak Eurocopter, dll. PT. Dirgantara Indonesia juga telah melayani order dari Timur Tengah dan berbagai pesanan dari negara-negara Asia. Untuk membangun kepercayaan negara – negara lain akan kehandalan produksi PT. Dirgantara Indonesia, maka langkah strategis yang ditempuh adalah mendorong agar pemerintah Indonesia sendiri mempergunakan pesawat yang diproduksi oleh bangsanya sendiri, sehingga negera-negara pemesan percaya akan produk PT Dirgantara Indonesia.


            Hingga saat ini praktis PT Dirgantara Indonesia telah menyerahkan lebih dari 400 pesawat kepada 49 operator sipil dan militer, di dalam dan luar negeri. PT Dirgantara Indonesia telah memproduksi berbagai jenis pesawat untuk penumpang sipil, kargo, pembuat hujan, transportasi militer, patrol maritime, survey dan pengawas pantai. PTDI juga telah menghasilkan berbagai pesawat terbang dengan skema produksi bersama dengan para mitra kerja strategis internasional. PT Dirgantara Indonesia kini telah mampu kembali berdiri tegak di hadapan negara-negara industry yang telah terlebih dajulu maju, dan Indonesia sebagai Macam Asia siap kembali mengaum.

            PT Dirgantara Indonesia telah menyatakan kesiapannya untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan target di bidang pertahanan dengan modernisasi alau utama sistim pertahanan (alusista). PT DI sebagai produsen alut sista berupaya keras membuktikan komitmennya untuk memenuhi pesanan kebutuhan TNI sesuai jadwal yang direncanakan. Untuk memenuhi kebutuhan TNI akan pesawat transportasi medium, PT DI sudah menyerahkan 9 unit pesawat CN 295. Pesawat andalan PT DI selama belasan tahun belakangan ini, yakni CN 235 juga akan semakin memperkuat alut sista dalam negeri. PT DI telah mengirimkan sebanyak 12 unit CN 235 untuk TNI AL dan TNI AU. Sementara itu untuk pesawat NC 212, PT DI telah menyerahkan 32 unit pesawat jenis tersebut kepada TNI. PT DI pun telah menyerahkan sejumlah helicopter, 31 unit BELL 412 EP untyuk TNI, 14 unit BELL 412 SP kepada TNI, dan 36 unit NBO 105. Belum lagi pesawat dan helicopter yang diserahkan kepada Kementerian Pertahanan yang kesemuanya dijamin kelaikaan terbangnya.


            Dari tiga hangar yang saya kunjungi, saya melihat bagaimana tenaga kerja Indonesia sedang mengerjakan pesawat-pesawat pesanan dari Philipina, Burma, dan negara-negara lainnya. Saya yakin ke depan PT Dirgantara Indonesia semakin jaya di Industri pesawat terbang dan menjadi produsen penting bagi kebutuhan pesawat negara-negara lain di dunia. 

Bersama Kolonel Sus Dwi Budi Haryanto , dan Kolonel Sugeng Hartono

Jakarta========= 17/2/2016