MEMBANGUN PAPUA, MELINDUNGI MAMA PAPUA

Senin, 23 November 2015


Sesuai dengan tema yang diajukan, yaitu arah kebijakan Pertahanan dan Keamanan di Papua terutama untuk Perlindungan Perempuan, satu hal yang harus sama-sama kita terima dan pahami bahwa, sistem pertahanan negara tidak semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, tetapi merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia yang diselenggarakan melalui fungsi pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah juga bertanggungjawab untuk membangun kekuatan pertahanan negara sesuai dengan peran dan fungsinya masing masing secara proporsional.

Mengingat bahwa pendekatan kebijakan pembangunan Provinsi Papua dan Papua barat saat ini lebih ditekankan pada pendekatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua. maka keberadaan dan penempatan kekuatan TNI di Papua dilakukan secara lebih proporsional, yaitu menjalankan fungsi menjaga kedaulatan bangsa Indonesia di daerah-daerah perbatasan, terutama perbatasan antara negara Indonesia dengan Papua Nuegini. Di sepanjang kurang lebih 800 km, bentang areal perbatasan tersebut masih menyimpan potensi kerawanan, seperti perlintasan penduduk antar kedua negara, penyelundupan narkotika, perdagangan barang-barang illegal, kemungkinan pemasokan senjata, pendatang yang merambah pertambangan secara illegal, dll.

Sebagai daerah provinsi yang berstatus tertib sipil sama dengan daerah-daerah lain, maka segala urusan yang bersangkutan dengan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat ditangani secara proporsional oleh Kepolisian daerah Provinsi Papua dan Papua Barat. Kecuali dalam hal-hal yang sangat penting, dan dalam usaha meredam segala persoalan dan gejolak yang dapat menggangu disintegritas bangsa, maka kepolisian daerah dapat meminta bantuan TNI.

Arah kebijakan pengelolaan Provinsi Papua dan Papua Barat sebenarnya telah jelas diatur dalam UU N0. 21/2001 tentang Otsus Provinsi Papua yang kemudian diubah menjadi UU No. 35/2008 tentang Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat.  Ada lima agenda utama dalam UU Otsus tersebut, yaitu :
1.     Meningkatkan Pembangunan Infrastruktur
2.    Meningkatkan Pelayanan pendidikan – kesadaran berpendidikan
3.    Meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat (menekan angka kematian dan peningkatkan tingkat harapan hidup masyarakat Papua)
4.    Memberdayakan ekonomi rakyat
5.    Affirmative action

Kelima agenda tersebut terbalut secara absolute dalam semangat NKRI dan mengejar ketertinggalan pembangunan. Program Nawacita Presiden Joko Widodo juga telah menggariskan bahwa pembangunan harus dimulai dari daerah pinggiran.

Perlindungan dan Pemberdayaan Mama Papua
          Kekerasan terhadap mama-mama Papua sesungguhnya sudah berlangsung lama, dari masa penjajahan hingga Papau kembali ke Pangkuan NKRI. Kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun hingga tahun-tahun sekarang ini angkanya telah berhasil ditekan. Namun kitapun harus realistis melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan itu masih ada..! …di hadapan kita….!  dan terlihat jelas.

Setiap kali membicarakan kekerasan terhadap mama Papua
dan mama mama lain di Indonesia,
sesungguh kita sedang membicarakan dosa- dosa kita semua sebagai anak mama. Saya berani katakan….semua kita…!
Bagaimana mana tidak ?
Perempuan, Mama lah dengan deras aliran air susunya,
membuat kita tumbuh kembang dan menjadi berarti di negeri ini.
Semua kita selalu berbicara hal-hal baik tentang mama
Sudahkah kita berb uat hal-hal baik pada mama ?
Sudahkah kita memberikan perlindungan pada mama ?
Sudahkah kita memberikan rasa aman dan nyaman pada mama ?
justru pada saat mama tengah melakukan sesuatu untuk kita. 

Kami sangat mengapresiasi hasil kerja Komnas Perlindungan Perempuan Papua yang telah berhasil mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap mama Papua dan pelanggaran HAM berbasis jender dalam kurung waktu 1963 -2009. Dokumen tersebut berjudul, “STOP SUDAH”. Saya belum dapat dan belum baca dokumen tersebut. Saya hanya mendengar dalam dokumen tersebut termuat rekomendasi diantaranya, meminta polri agar menghukum pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan dan memastikan adanya penegakan hukum

Rekomendasi ini dan rekomendasi-rekomendasi lain memang perlu di berikan kepada pemerintah agar persoalan-persoalan tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama para keturunan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mengadili dan memberikan sanksi hukum kepada pelaku pelanggaran HAM perlu dilakukan. Namun , janganlah kita larut dan terpaku hanya pada persoalan pelanggaran HAM dan melupakan akar penyebab mengapa Mama Papua begitu rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM. Saya katakan demikian, melihat pengalaman kita dalam penanganan kasus –kasus pelanggaran HAM yang penyelesaiannya berlarut-larut, padahal pemerintah dan aparat penegak hokum telah bekerja maksimal untuk itu. Tampaknya memang agak sulit mengingat kita harus menghadirkan sebuah kejadian masa lalu dalam konteks masa lalunya untuk kita adili di masa kini dalam konteks kekiniannya. Tetapi apapun kesulitannya, pelangaran HAM, terutama terhadap Mama Papua harus tetap kita upayakan.

Intinya, saya mau katakan, dokumentasi kekerasan terhadap Mama Papua yang berlabel “STOP SUDAH” jangan hanya kita pakai sebagai bahan untuk menuntut pelanggaran HAM masa lalu. Sebaiknya dokumen “STOP SUDAH” tersebut kita jadikan kitab suci Komnas Perlindungan Perempuan sebagai pedoman dan tuntunan dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan dasar Mama Papua, membuat program-program yang langsung bersentuhan bagi peningkatakan kemampuan mama Papua untuk terlepas dari belenggu budaya yang kurang berpihak padanya, sekaligus mendorong Mama Papua untuk bangkit, sehingga mampu duduk bersama mengambil keputusan-keputusan, terutama keputusan politik tentang dirinya.

Seperti kita ketahui, kekerasan paling tinggi yang dialami mama Papua adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan ini terjadi karena budaya patrilinear sungguh menempatkan Mama papua sebagai pribadi yang kurang berdaya. Baik posisinya dalam rumah tangga, dalam aturan budaya, dan dalam kesempatan mengecap pendidikan. Pemerintah telah berusaha memberi kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi di dunia politik dengan memberikan quota 30 persen, tetapi persoalan kemudian Partai politik sulit menemukan wanita yang punya kemampuan yang dipersyaratkan untuk mengisi quota tersebut, sehingga partai-partai besar di ibukota sekalipun lebih memilih perempuan dari kalangan selebritis.

(Pengalaman seorang dosen dan riset yang dilakukannya)


Di Kemenko Polhukam terdapat Desk Otonomi Khusus, yang menangani persoalan-persoalan di Aceh dan Papua. Desk Otsus tersebut memang belum secara intens menangani perlindungan kekerasan terhadap mama Papua. Oleh karena itu, kami sebenarnya berharap Komnas Perlindungan Perempuan juga melakukan lokakarya yang sama seperti ini, di Kemenko Polhukam. Dr. Adriana Veny sebenarnya telah menjajakinya, kami sekarang tinggal menunggu tindak lanjutnya.

Jangan pernah kita menganggap bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan telah selesai, karena telah terbentuk Komisi Nasional Perlindungan Perempuan. Komnas Perlindungan Perempuan hanyalah sebuah pintu, lewat pintu itulah kita semua mengkonsolidasikan diri masuk bersama-sama menyelesaiakn persoalan perempuan. Di dalamlah nanti kita akan mengetahui siapa berbuat apa. Kami dari Kemenko Polhukam juga akan mengajak kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Kemenko Polhukam untuk mengambil bagian dalam konsolidasi jaringan advokasi Papua. 

0000000000000
 Drs. Zulkomar
Disampaikan pada Lokakarya Perlindungan terhadap Perempuan Papua
di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
Jakarta, 16 November 2015.