Namanya, RR. Sri Wahyu Handayani, biasa disapa dengan panggilan akrab,
Yenny. Kecantikannya tidak diragukan, kulitnya putih, rambut tergerai, badannya
bagus, proporsional dan atletis. Ia adalah pribadi yang hangat, disenangi oleh
teman-temannya, disegani oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya. Maklumlah ia adalah
karate ban hitam. Banyak orang yang menaruh hati padanya terpaksa urung
menyatakan niatnya karena dari awal Yenny telah mengatakan bahwa ia telah
bertunangan dengan seorang taruna akabri.
Saya kebetulan berada dalam satu kampus dan satu jurusan dengannya,
sehingga hampir di setiap saat berkuliahan kami bertemu dan saling menyapa. Kebetulan
saya mahasiswa yang cukup menonjol baik dalam segi akademis maupun aktivitas
kemahasiswaan di kampus sehingga banyak mahasiswa yang berusaha dekat denganku.
Tentu saja akupun berusaha dekat dengan siapapun. Jujur saja teman-teman
dekatku lebih banyak wanita dibandingkan lelaki. Apalagi aku berada di jurusan
sastra yang hampir semua mahasiswinya cantik-cantik. Mahasiswi-mahasiswi di
Fakultas sastra Unhas sering digelari bunga-bunganya kampus.
Kami biasa kumpul bersama, belajar dan berdiskusi bersama, jalan dan makan
bersama, serta dalam banyak kesempatan saling mengunjungi. Saya, Yenny, Onna,
Dewi Tally dan Mulyani Kone menjadi komunitas tersendiri di kampus. Jika kami telah
berkumpul, barulah teman-teman yang lain ikut nimbrung. Jika sudah berada di
kampus, kami belumlah merasa lengkap tanpa kehadiran Yenny. kami biasanya hanya
duduk di pelataran kampus menunggu kehadiran Yenny. Yenny biasa datang dengan honda bebek warna
merahnya. Dari jauh biasanya sudah kami tebak kehadirannya karena teman-teman
sudah mengenal motor dan juga gayanya berkendaraannya. Gaya berkendaraannya
memang terkesan agak tomboy sehingga di jalan jarang ada orang yang berani
mengganggunya.
Akulah satu-satunya lelaki dalam kumpulan wanita-wanita cantik itu. Mungkin
Yenny dan teman-temannya menganggap, jika lelaki hadir dengan karakter
buayanya, maka aku dianggap sebagai buaya yang mudah dijinakkan. Nyatanya
memang begitu. Yenny dan teman-temannya seringkali berhasil memaksakan
kehendaknya padaku. Apapun yang mereka rencanakan, aku biasanya ikut saja. Di
dalam kampuspun kami sering memilih tempat duduk saling berdekatan.
Dalam aktivitas extra kurikuler Yenny-pun seringkali kami libatkan.
Uniknya, walaupun ia memiliki banyak kebisaan, tetapi Yenny lebih sering
ditempatkan sebagai bagian keamanan. Padahal sebenarnya banyak lelaki yang
lebih garang dan berbadan kekar untuk mengambil tugas pengamanan. Suatu kali ada
kelompok mahasiswa yang mengadakan protes atas kegiatan yang kami lakukan.
Mereka di luar berteriak dan mendesak masuk ke aula pertemuan. Mendengar suara
gaduh, Yenny segera bergegas keluar dan berdiri di depan pintu. Aku tentu saja
khawatir dengannya, karena itu aku ikut keluar mendampinginya. Ia hanya
mengatakan satu kalimat, kalimat singkat yang keluar tanpa raut gentar, ”Saya
minta...! Jangan masuk..!” dan ia memasang badannya, mematung di depan pintu.
Ia tidak melayani teriakan-teriakan aksi mahasiswa karena ia bukan type wanita
debator. Ia hanya berdiri memastikan tidak ada yang masuk ke ruang pertemuan.
Saya sempat mendengar ada satu mahasiswa yang memprovokasi rekannya, ”hanya
perempuan”.....dan ia mundur ketika mendapat jawaban, ”Karateka Ban Hitam”. Yenny memang punya kharisma tersendiri, tanpa suara bentakan ataupun mimik
di sangar-sangarkan atau di seram-seramkan, ternyata mahasiswa tidak berani
masuk dan memilih untuk membubarkan diri.
Terlalu banyak ceritera tentang Yenny dan persahabatan kami. Waktu
kebersamaan kami memang tak lama, tetapi ikatan emosional itu kuat melekat
dalam memoriku. Pada masa itu budaya telepon seluler belum ada, sehingga kami hanya bisa
berkomunikasi secara langsung. Pada tahun 1982 Yenny tak pernah lagi menampakkan
dirinya. Komunikasi dengannya praktis terputus. Saya masih sempat membantu
sahabat-sahabat lain menyelesaikan tugas akhir perkuliahannya. Setiap kali kami
berkumpul...Yenny menjadi topik pembicaraan, topik ke kangenan. Setelah aku
selesai, akupun kembali ke jakarta dan praktis setelah itu hubungan dengan
semua teman kampus terputus.
Sejujurnya aku harus menyatakan terimakasih kepada Facebook, karena karena
dari media sosial inilah untuk pertama kalinya seorang sahabat, Halim Daties
menemukan aku dan mengabarkan kepada teman-teman tentang keberadaanku di media
sosial. Mulailah aku kembali mencari dan menemuka teman-teman lamaku. Aku
bangga kepada adik-adik angkatanku yang kompak membangun jaringan
bertemanannya, sementara aku dan angkutanku lost contact. Aku terus mencari dan
selalu gagal menemukan mereka-mereka. Sementara sebuah forum silaturahim di FB
yang dibentuk teman-teman juga gagal mendapatkan teman-teman angkatanku.
Begitulah....waktu terus berjalan. Tak terasa sudah 33 tahun aku berpisah
dengan sahabat-sahabat cantikku. tetapi ceritera tentang mereka tak akan pernah
terhapus dari ingatanku. Akhirnya, dipenghujung
penutupan bulan Febnruari 2015 aku menerima undangan resepsi pernikahan anak
dari pimpinanku di kantor. Dari semua teks di kartu undangan tersebut, mataku
terdiam lama pada sebuah nama, ”RR. Sri
Wahyu Handayani” hati kecilku mengatakan, ”hanya ada satu wanita yang memiliki
nama seperti ini, dan dia adalah sahabatku yang menghilang selama 33 tahun.”
Tiga hari aku mencari kesempatan untuk menanyakan kepada pimpinanku, karena aku
tidak terbiasa menghadap untuk sesuatu yang bukan urusan pekeerjaan.
Akhirnya waktu itu tiba juga. Menjelang pulang kantor aku bertemu
pimpinanku lalu menanyakan, ”maaf Pak...apakah ibu pernah kuliah di makassar?” //
dijawab ”Iya”. // ”Fakultas sastra,” tanyaku lagi.// dijawab ”Iya”. //”Kalau
begitu, sampaikan salamku pada ibu. Katakan saja dari Zulkomar teman kuliahnya.
Hanya ada satu nama Zulkomar di Sulawesi,” lalu aku pamit pulang.
Kamis, 5 Maret 2015, seusai menghadiri rapat, pada handphone yang tertinggal
di ruang kerjaku ada SMS yang masuk lima menit yang lalu.
”Asslkm wrwb. Maaf ini pak Zulkomar ya ?
”Iya betul. ada yang bisa saya bantu ?”
”Ya Allah...Komar.....saya Yenny.”
Aku sungguh bahagia mengetahui bahwa RR. Sri Wahyu Handayani, ini adalah
sahabatku. Tetapi aku juga menjadi bingung sendiri bagaimana nanti harus
bersikap jika bertemu dengannya, mengingat bahwa saat ini ia adalah istri seorang
marsekal, pimpinanku di kantor. Ada yang sedikit melegakan dari SMS Yenny, ”tetap
panggil aku Yenny,” katanya. Aku sangat memaklumi, jika aku belum sempat
berbicara dengannya karena ia pasti sangat disibuki oleh persiapan resepsi
pernikahan anaknya.
Aku kemudian memutuskan untuk menghadiri undangannya yang dilaksanakan di
Yokyakarta. Alhamdulillah berkat kebaikan seorang teman, aku mendapat tumpangan
untuk berangkat ke Yokyakarta. Saya dan teman-teman masih sempat berjalan-jalan
sejenak di kota Gudeg dan malamnya, 7 Maret 2015, pukul 19.00 WIB menghadiri resepsi. Aku berusaha menerobos
tempat tempat terdepat untuk cepat menjabat tangan pimpinanku dan sahabatku.
Setelah tamu VIP selesai dan undangan dipersilahkan memberikan doa dan ucapan
selamat. Aku segera ikut berbaris naik ke panggung pelaminan. Ingat benar aku
berada di urutan ke 13. Pertama-tama aku ucapkan selamat kepada pimpinanku dan
kemudian ia menyampaikan kepada Nyonya, ”Ini zulkomar...nanti ngobrol di sana
ya...! Aku menjabat tangan dan memandang sejenak wajahnya, ”Subhanallah dia
benar-benar Yenny”. hanya satu kata yang
terucap dari mulutnya, ”komar” lalu aku terdesak oleh tamu-tamu yang lain.
Waktu memang belum tepat untuk berceritera
banyak, tetapi waktu itu akan tiba. Dari Yenny pulalah aku akhirnya juga
menemukan jejak Dewi Tally dll. Dunia ternyata begitu sempit bagi sebuah
persahabatan.