Dua puluh tahun lebih aku mendambakan mendapat tugas di tanah Minangkabau,
Sumatera Barat tetapi tak pernah kesampaian. Bukan berarti tak pernah ada
tugas-tugas kunjungan ke provinsi tanah kelahiran Prof Dr. Buaya Hamka
tersebut. Mungkin nasib yang menentukan untuk aku bersabar dari obsesi
tersebut. Wajarlah jika aku sangat menginginkan kunjungan ke Sumatera Barat,
mengingat istri yang kunikahi 22 tahun yang lalu itu berasal dari Nagari Koto
Kaciak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Empat tahun yang lalu keluarga besar
istriku termasuk anak-anakku telah menyempatkan pulang ke tanah leluhurnya,
sementara aku ada saja halangan untuk mengunjungi kampung halaman istriku.
Tidak henti-hentinya aku berdoa dan berharap untuk punya kesempatan
mengunjungi kota Padang. Setelah dua puluh tahun lebih akhirnya kesempatan itu
datang juga. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memintaku untuk
memberikan materi pelatihan tentang media handling pada hari Kamis, 18
September 2014. Untuk moment ini aku harus berterimakasih kepada dua orang
Marsekal, yaitu pimpinanku Agus R. Barnas dan ketua KNKT Tatang Kurniadi yang
telah memberi peluang hingga aku dapat mengunjungi kota Padang.
Terimakasih pula pada sahabatku Maulana, pihak Event Organizer yang telah
meminta salah seorang supirnya mengantarkanku ke Nagari Koto Kaciak. Setelah
sholat jumat kami meluncur menyusuri jalan beraspal melintasi kabupaten
Pariaman. Kiri kanan jalan dipenuhi area persawahan dan pohon-pohon kelapa
serta rumah-rumah penduduk yang sederhana. Gerimis yang mengiringi perjalanan
kami sangat membantu mengatasi panasnya daerah pesisir. Setelah melewati
kabupaten Pariaman dan mulai masuk ke Kabupaten Agam segarnya alam pegunungan
mulai terasa. Banyak desa-desa dengan nama aksen daerah yang kami lewati tetapi
tidak dapat aku hafalkan namanya. Mobil terus meluncur memasuki Lubuk Basuang
lalu melingkari danau terbesar kedua, danau maninjau. Begitu luasnya danau maninjau
hingga hamparannya tampak bak lautan tak bertepi. Akhirnya jam 17.00 WIB kami membelok
ke kiri memasuki jalan kecil lalu mendaki memasuki Nagari Koto Kaciak, Kecamatan
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Aku memasuki rumah mertua yang lebih dari 12 tahun ditinggal merantau oleh
penghuninya. Kini rumah itu ditinggali oleh adik iparku yang kebetulan
memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Rumah kayu yang kokoh dengan enam
belas jendela dan empat buah pintu. Pintu disini tidak selalu berarti tempat
keluar masuknya penghuni. Ada juga pintu yang hanya berfungsi sebagai tempat
keluar masuknya udara. Rumah ini dari pagi hingga sore hari seperti ruang
terbuka yang membiarkan udara pegunungan keluar masuk. Rumah kayu tertata
bersih karena tidak ada debu dan juga tidak dikhawatirkan adanya tikus dan
serangga-serangga lainnya. Sungguh tempat yang sangat dekat dengan alam.
Di atas meja kayu telah terhidang cemilan ringan yang tak pernah aku lihat
sebelumnya. Namanya Pensi, sejenis kerang air tawar yang banyak terdapat di
dasar perairan dangkal Danau Maninjau. Bentuknya seperti kerang mini,
bercangkang dua dan simetris berwarna coklat kehitam-hitaman. Cangkangnya tipis
dengan ukuran 1 hingga 2 sentimeter. Makanan pensi ini hanya ditumis dengan
bumbu seadanya dan kuah berlimpah. Rasa kuahnya segar dan khas karena pensi ini
banyak mengandung zat kapur dari cangkangnya.
Aku coba mencicipinya tetapi aku kesulitan membuka cangkangnya. Sementara sopir
yang membawaku serta kemenakanku yang baru berusia 4 tahun terlihat mengitu
serius menikmati pensi. Mereka telah menghabiskan sepuluh pensi sementara aku
masih berkutat membuka cangkangnya. Aku perhatikan mereka hanya perlu menggigit
sedikit lalu cangkang pensi membuka dan isinya mereka sedot dan emut. Setelah
berhasil membuka dan menikmati pensinya baru aku rasakan sensasi rasanya,
tetapi tetap saja kesulitan menikmatinya karena waktuku lebih banyak untuk
membuka cangkang daripada menikmati pensinya.
Pensi sungguh adalah karunia yang diberikan Allah kepada penghuni sekitar
Danau Maninjau, karena untuk mendapatkannya sangat mudah. Pengambilan pensi
bisanya pada lepas subuh hingga matahari terbit. Pengambilannya cukup
mempergunakan tangkuk dari atas sampan nelayan, atau bisa juga turun ke air
danau lalu dengan mempergunakan kaki mengumpulkan pensi hingga menggunung lalu
menyelam dan menyendoknya dengan alat tangkuk atau wadah penampung. Siapapun
dapat melakukannya. Tetapi kalau anda tak punya waktu untuk mengambilnya di
dasar danau, jangan khawatir karena setiap hari ada saja penduduk yang
menawarkan pensi dengan harga yang murah.
Dua hari di Nagari Koto Kaciak benar-benar aku manfaatkan untuk belajar
menikmati pensi. setelah berusaha mencoba dan mencoba terus akhirnya aku mulai
terampil membuka cangkang dengan gigi depan dan menikmati daging pensinya
dengan lezat. Ternyata keterampilan memakan pensi adalah perpaduan keterampilan
memakan kerang dan memakan kuaci. Kalau tak percaya silahkan datang ke Maninjau
untuk mencobanya sendiri.
tadinya aku akan membawa pulang Pensi sebagai oleh-oleh khas Nagari Koto
Kaciak. Tetapi urung kulakukan karena untuk mengolahnya menjadi lauk pauk
ataupun cemilan membutuhkan keterampilan tersendiri dalam memasaknya. Kalau
anda salah dalam mengolahnya dapat berakibat batuk-batuk, dan memang mereka
yang sedang batuk dilarang keras memakan pensi. Entah apa sebabnya, belum aku
telusuri secara mendalam. Aku terima saja informasi itu sebagai sebuah
kebenaran karena mereka yang berada di sekitar Danau Maninjau mengatakan
demikian.
Nagari Koto Kaciak
21 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar