Sejak dari kecil aku terbiasa mendapatkan
nasehat-nasehat dari ayah dan ibu, kakek dan nenek, tante dan paman,
kakak-kakakku, dan juga dari guru-guru yang mengajarkanku bagaimana menjadi
orang baik, cerdas dan disenangi oleh orang-orang. Ketika beranjak remaja lalu
melewati masa-masa pencarian jati diri, aku terus dibimbing dengan
nasehat-nasehat dari orang-orang yang sama, bagaimana menjadi orang yang sukses
dan diterima oleh semua pihak. Standar-standar kebaikan yang diajarkan padaku
umumnya bersumber dari nilai-nilai agama dan nilai nilai kearifan lokal pada
kultur daerah yang aku diami.
Setelah aku
banyak belajar dari buku-buku dan bersentuhan langsung dengan kehiduapan sosial
dan dunia pekerjaan, aku mulai berhubungan dengan banyak type manusia yang
menurut pandanganku berbeda dengan nasehat-nesahat yang diberikan oleh
orang-orang terdekatku. Aku tidak tahu sampai dimana pencapaian kehiduapan yang
aku raih, tetapi aku percaya bahwa apa yang aku lakukan sudah sesuai dengan
nasehat-nasehat yang aku terima. Hingga kadang-kadang kalau aku berpikir
pencapaian hidupku tersendat waktu, itu karena hambatan kultural dimana aku
tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan sosial kekinian.
Sejujurnya aku
akui bahwa nasehat-nasehat yang pernah aku terima terinternalisasi begitu saja dalam
cara berpikir, bersikap dan bertindakku. Tetapi aku sungguh lupa nasehat
tentang ini dari siapa dan nasehat tentang itu dari siapa, karena nasehat itu
mengalir begitu deras hingga aku tak tahu nasehat mana saja yang masuk ke akal
pikiranku. Ini mungkin karena nasehat-nasehat itu terlalu banyak sehingga tak
tahu nasehat apa yang tertinggal dalam benakku. Ini pula yang menginspirasi
sikapku sekarang sebagai orang tua.
Aku percaya bahwa
nasehat itu sebaiknya jangan panjang lebar, cukup yang singkat singkat saja
tetapi mengena pada inti persoalan sebagaimana pesan pakar komunikasi publik
(aku lupa namanya) yang mengatakan bahwa, “Semakin
padat kata-kata semakin kuat daya bakarnya”. Ingatlah bagaimana kata-kata,
“Merdeka atau Mati” begitu kuat membakar semangat patriotik bangsa.
Kata-kata bertuah
itu kembali aku terima beberapa minggu yang lalu dari seorang marsekal,
pimpinanku di kantor. Dalam suatu rapat, beliau sempatkan share pengalaman
(beliau tidak nyatakan itu sebagai nasehat). Ia hanya mengatakan begini, “Sukses dan keberhasilan hanya ditentukan
oleh dua hal, “Kesempatan dan Kesiapan.” Kata-kata itu begitu kuat
mendorongku untuk mengingat banyak hal. Ya …..sangat benar kadang kesempatan datang
tetapi kita tidak siap sehingga kesempatan mencari mereka yang siap. Kadang
kita mempersiapkan diri tetapi kesempatan itu tidak datang. Mungkin karena
kesiapan yang kita siapkan tersebut bukan untuk suatu kesempatan yang ada di
hadapan kita, tetapi untuk suatu kesempatan yang masih jauh dari jangkau penglihatan,
sehingga kita kerap gagal mengantisipasi tibanya kesempatan tersebut.
Aku sadar dengan dengan
potensi yang ada padaku, aku tahu kadar kemampuanku menyelesaiakan masalah, aku
tahu kelebihan-kelebihan dan sekaligus sadar dengan kekurangan-kekuranganku.
Kadang aku berpikir dimana sebenarnya posisi dan radius kesempatan itu dari
tempatku berpijak. Rupanya, kesempatan itu tidak pernah menyempatkan dirinya
masuk kedalam ruangan untuk mencari mereka-mereka yang siap. Kesempatan hanya
berjalan lurus menyusuri koridor-koridor menunggu orang-orang yang bergerak
sigap berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan ketika berpapasan
dengan kesempatan, maka mereka segera meraihnya. Sementara mereka yang
terkurung di ruangan atau yang mengurung diri di ruangan tidak akan pernah
melihat kesempatan itu melintas. Kalaupun mereka tahu ada kesempatan melintas,
itu setelah kesempatan tersebut diraih oleh mereka yang mempersiapkan diri
untuk siap dengan berjalan hilir mudik di koridor-koridor kekuasaan.
Kita rupanya
harus jeli membaca kapan kesempatan itu datang. Bisa dengan cara kita membuka
sendiri alur agar kesempatan itu mengalir mengikuti arus yang kita buat, atau
merespon sinyal kesempatan yang ditiupkan oleh orang-orang yang mempercayai
kita. Saya teringat suatu moment dimana saya harus mendampingi Sang Marsekal
menghadiri sebuah rapat tentang kesalahpahaman menyikapi pemberitaan media on
line tentang hasil investigasi kecelakaan transportasi. Setelah Marsekal
memberikan pandangan-pandangannya secara umum, saya ikut sumbang saran
bagaimana seharusnya bersikap terhadap pemberitaan media dan apa yang sebaiknya
dilakukan oleh pihak-pihak yang diberitakan oleh media. Itu rupanya sedikit
banyaknya membuka wawasan pihak-pihak berkesalahpahaman dalam menyikapi media.
Seusai rapat,
Marsekal sempat mengatakan kepada ketua penghajat pertemuan tersebut bahwa ia sengaja mengajak pakar media untuk
mendampinginya. Saat itu, saya yang dianggap pakar tentu saja tersipu-sipu.
Saya menganggap ucapan Marsekal untuk saya itu terlalu berlebih-lebihanan.
Namun di belakang hari baru saya sadari bahwa ucapan Marsekal, pimpinanku itu
adalah dalam rangka membuka gerbang kesempatan bagiku. Benar saja ketika Ketua
penghajat rapat tersebut menawarkan aku untuk memberikan presentasi tentang
media handling. Aku segera melapor kepada Marsekal, pimpinanku. Beliau hanya
memberikan sedikit kata, “Itulah kesempatan……terima….. siapkan dirimu dan
siapkan materi dengan baik.”
Subhanallah…..!
Ternyata aku
hanya membutuhkan dua kata, “Kesempatan dan Kesiapan.” Terimakasih. Dua kata
itu adalah harta yang mahal.