KESEMPATAN DAN KESIAPAN

Minggu, 31 Agustus 2014




Sejak dari kecil aku terbiasa mendapatkan nasehat-nasehat dari ayah dan ibu, kakek dan nenek, tante dan paman, kakak-kakakku, dan juga dari guru-guru yang mengajarkanku bagaimana menjadi orang baik, cerdas dan disenangi oleh orang-orang. Ketika beranjak remaja lalu melewati masa-masa pencarian jati diri, aku terus dibimbing dengan nasehat-nasehat dari orang-orang yang sama, bagaimana menjadi orang yang sukses dan diterima oleh semua pihak. Standar-standar kebaikan yang diajarkan padaku umumnya bersumber dari nilai-nilai agama dan nilai nilai kearifan lokal pada kultur daerah yang aku diami. 

Setelah aku banyak belajar dari buku-buku dan bersentuhan langsung dengan kehiduapan sosial dan dunia pekerjaan, aku mulai berhubungan dengan banyak type manusia yang menurut pandanganku berbeda dengan nasehat-nesahat yang diberikan oleh orang-orang terdekatku. Aku tidak tahu sampai dimana pencapaian kehiduapan yang aku raih, tetapi aku percaya bahwa apa yang aku lakukan sudah sesuai dengan nasehat-nasehat yang aku terima. Hingga kadang-kadang kalau aku berpikir pencapaian hidupku tersendat waktu, itu karena hambatan kultural dimana aku tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan sosial kekinian.

Sejujurnya aku akui bahwa nasehat-nasehat yang pernah aku terima terinternalisasi begitu saja dalam cara berpikir, bersikap dan bertindakku. Tetapi aku sungguh lupa nasehat tentang ini dari siapa dan nasehat tentang itu dari siapa, karena nasehat itu mengalir begitu deras hingga aku tak tahu nasehat mana saja yang masuk ke akal pikiranku. Ini mungkin karena nasehat-nasehat itu terlalu banyak sehingga tak tahu nasehat apa yang tertinggal dalam benakku. Ini pula yang menginspirasi sikapku sekarang sebagai orang tua. 

Aku percaya bahwa nasehat itu sebaiknya jangan panjang lebar, cukup yang singkat singkat saja tetapi mengena pada inti persoalan sebagaimana pesan pakar komunikasi publik (aku lupa namanya) yang mengatakan bahwa, “Semakin padat kata-kata semakin kuat daya bakarnya”. Ingatlah bagaimana kata-kata, “Merdeka atau Mati” begitu kuat membakar semangat patriotik bangsa.

Kata-kata bertuah itu kembali aku terima beberapa minggu yang lalu dari seorang marsekal, pimpinanku di kantor. Dalam suatu rapat, beliau sempatkan share pengalaman (beliau tidak nyatakan itu sebagai nasehat). Ia hanya mengatakan begini, “Sukses dan keberhasilan hanya ditentukan oleh dua hal, “Kesempatan dan Kesiapan.” Kata-kata itu begitu kuat mendorongku untuk mengingat banyak hal. Ya …..sangat benar kadang kesempatan datang tetapi kita tidak siap sehingga kesempatan mencari mereka yang siap. Kadang kita mempersiapkan diri tetapi kesempatan itu tidak datang. Mungkin karena kesiapan yang kita siapkan tersebut bukan untuk suatu kesempatan yang ada di hadapan kita, tetapi untuk suatu kesempatan  yang masih jauh dari jangkau penglihatan, sehingga kita kerap gagal mengantisipasi tibanya kesempatan tersebut.

Aku sadar dengan dengan potensi yang ada padaku, aku tahu kadar kemampuanku menyelesaiakan masalah, aku tahu kelebihan-kelebihan dan sekaligus sadar dengan kekurangan-kekuranganku. Kadang aku berpikir dimana sebenarnya posisi dan radius kesempatan itu dari tempatku berpijak. Rupanya, kesempatan itu tidak pernah menyempatkan dirinya masuk kedalam ruangan untuk mencari mereka-mereka yang siap. Kesempatan hanya berjalan lurus menyusuri koridor-koridor menunggu orang-orang yang bergerak sigap berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan ketika berpapasan dengan kesempatan, maka mereka segera meraihnya. Sementara mereka yang terkurung di ruangan atau yang mengurung diri di ruangan tidak akan pernah melihat kesempatan itu melintas. Kalaupun mereka tahu ada kesempatan melintas, itu setelah kesempatan tersebut diraih oleh mereka yang mempersiapkan diri untuk siap dengan berjalan hilir mudik di koridor-koridor kekuasaan.

Kita rupanya harus jeli membaca kapan kesempatan itu datang. Bisa dengan cara kita membuka sendiri alur agar kesempatan itu mengalir mengikuti arus yang kita buat, atau merespon sinyal kesempatan yang ditiupkan oleh orang-orang yang mempercayai kita. Saya teringat suatu moment dimana saya harus mendampingi Sang Marsekal menghadiri sebuah rapat tentang kesalahpahaman menyikapi pemberitaan media on line tentang hasil investigasi kecelakaan transportasi. Setelah Marsekal memberikan pandangan-pandangannya secara umum, saya ikut sumbang saran bagaimana seharusnya bersikap terhadap pemberitaan media dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pihak-pihak yang diberitakan oleh media. Itu rupanya sedikit banyaknya membuka wawasan pihak-pihak berkesalahpahaman dalam menyikapi media.

Seusai rapat, Marsekal sempat mengatakan kepada ketua penghajat pertemuan tersebut  bahwa ia sengaja mengajak pakar media untuk mendampinginya. Saat itu, saya yang dianggap pakar tentu saja tersipu-sipu. Saya menganggap ucapan Marsekal untuk saya itu terlalu berlebih-lebihanan. Namun di belakang hari baru saya sadari bahwa ucapan Marsekal, pimpinanku itu adalah dalam rangka membuka gerbang kesempatan bagiku. Benar saja ketika Ketua penghajat rapat tersebut menawarkan aku untuk memberikan presentasi tentang media handling. Aku segera melapor kepada Marsekal, pimpinanku. Beliau hanya memberikan sedikit kata, “Itulah kesempatan……terima….. siapkan dirimu dan siapkan materi dengan baik.”

Subhanallah…..!
Ternyata aku hanya membutuhkan dua kata, “Kesempatan dan Kesiapan.” Terimakasih. Dua kata itu adalah harta yang mahal.

KAPAL SELAM DI TENGAH KOTA SURABAYA

Minggu, 24 Agustus 2014



Seusai memberikan materi pelatihan pada acara, “In House Training Aircraft Accident Investigation And Report Writing” yang diadakan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bekerjasama dengan Universitas Nurtanio Bandung, di salah satu hotel di Surabaya, 19 – 22 Agustus 2014, pihak event organizer berkenan mengantar kami ke bandara Juanda untuk segera kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan kami melintasi jalan pemuda yang bersih dan tidak begitu padat, di kiri jalan mataku tiba-tiba melihat sebuah kapal besar di tengah kota.


        “Itu adalah Monument Kapal selam Pasopati,” kata Sang Sopir ketika aku menanyakannya.

        Mendengar nama Pasopati minatku tiba-tiba menyerang keinginanku untuk melihatnya. “Kalau kita mampir 30 menit apakah kita tidak ketinggalan pesawat ?” tanyaku pada supir yang membawa kami.

        “Kita masih punya cukup waktu kalau bapak-bapak ingin mampir,” jawabnya.

        Akhirnya mobil kembali memutar dan memasuki area monument. Setelah membayar uang parkir Rp. 5.000,- dan membayar ongkos masuk Rp. 8.000,- perorang, aku bersama dua teman lainnya, Edy Sasongko Kepala Sub Komisi Kereta Api, KNKT dan Carmelia Sukmawati mantan wartawan di Istana negara pada masa pemerintahan Soeharto menaiki tangga dan masuk ke dalam Kapal Selam Pasopati.

        Ingatanku meluncur ke masa silam, masa ketika bangsa Indonesia harus terus berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Segenap kekuatan bersenjata dikerahkan untuk mempertahankan agar tak sejengkal tanahpun dari negeri ini diganggu oleh pihak-pihak lain. Salah satu kapal selam yang mengambil peran penting itu adalah KRI Pasopati. KRI Pasopati dengan nomor lambung 410, termasuk jenis SS Type Whiskey Class yang dibuat di Vladi Wostok, Rusia pada tahun 1952. Masuk ke jajaran TNI-AL pada tanggal 29 Januari 1962 dengan tugas pokok menghancurkan garis lintas musuh, mengadakan pengintaian dan melalukan silent raids.

        Selama pengabdiannya, KRI Pasopati banyak berperan aktif menegakkan kedaulatan Negara dan hukum di laut yurusdiksi nasional dalam berbagai operasinya, antara lain Operasi Trikora pada tahun 1962 KRI Pasopati berada di garis depan memberikan tekanan psikologis terhadap lawan. Selain itu sejarah juga mencatat betapa KRI Pasopati telah memberikan banyak peranan penting dalam berbagai operasi yang dilaksanakannya. Seingatku KRI Pasopati dinonaktifkan dari jajaran TNI-AL pada tanggal 25 Januari 1990 yang ditandai dengan penurunan ular-ular perang dalam suatu upacara militer yang begitu khikmat dan penuh haru di ujung Surabaya.

        Bagaimana kapal selam yang heroik dan historis ini dengan panjang 76,6 meter, lebar 6,30 meter dengan berat kosong 1.050 ton ini bisa berada di tengah kota Surabaya dan menjadi monument kebanggaan bangsa. Menurut keterangan pemandu wisatanya KRI Pasopati dipotong-potong menjadi 16 blok di PT PAL Indonesia lalu dibawa ke lokasi untuk dirakit ulang hingga menjadi Kapal Selam Pasopati yang kembali utuh dan berdiri kokoh di tempatnya sekarang.

        Adalah mantan Gubernur Jawa Timur, Basofi Sudirman yang meletakkan batu pertama pembangunan monument kapal selam Pasopati ini pada tanggal 1 Juli 1995. Butuh waktu tiga tahun untuk membangun dan merakit kembali kapal selam ini, dan pada tanggal 27 Juni 1998 Bapak Kasal Laksamana TNI Arief Kushariadi dengan penuh rasa bangga meresmikannya dan kemudian dinyatakan terbuka untuk umum mulai tanggal 15 Juli 1998. Ini berarti 16 tahun kemudian baru aku dapat menyaksikannya.


        Di depan pintu masuk kapal selam Pasopati pertama-tama aku tunjukkan rasa hormat dan banggaku kepada seluruh pejuang Republik Indonesia dan secara khusus kepada para Komandan dan awak Kapal Selam Pasopati dengan sikap tegak memberikan hormat, mengangkat tangan kananku dan meletakkan dengan rapih tepat di atas alis kananku. Di Ruangan Pertama yang merupakan haluan terdapat empat peluncur torpedo dan penyimpanan torpedo cadangan serta ruang istirahat ABK. Ruang Kedua, adalah lounge room perwira, sekaligus ruang makan dan tempat bekerja perwira. Ruang Ketiga, adalah ruang PIT (Pusat Informasi Tempur) dimana terdapat radar pengintai sedangkan di bawahnya adalah gudang penyimpanan makanan. Ruang Keempat adalah lounge room bintara/tamtama dan dapur. Ruang Kelima adalah tempat motor diesel, pesawat bantu dan pengendaliannya. Ruang Keenam adalah tempat motor listrik penggerak kapal, motor-motor bantuan dan pengendaliannya. Ruang ketujuh merupakan ruang torpedo buritan. Di sini terdapat dua peluncur torpedo yang berfungsi menyerang dan menghindar. Ketujuh ruangan dalam Kapal Selam Pasopati ini dihubungkan dengan lorong lingkaran sehingga untuk melintasinya kita harus membungkuk atau bertiarap.


         
Kalau saja bukan karena desakan waktu untuk segera ke bandara Juanda, sebenarnya aku ingin berlama-lama di dalam Kapal Selam Pasopati ini untuk merasakan bagaimana suasana hati dan jiwa patriot perwira dan para awak yang berjumlah 63 orang di dalam ruang sempit di tengah-tengah lautan. Rupanya tak ada kata sempit bagi jiwa-jiwa yang lapang. Terimakasih dan doa untuk para perwira dan awak Kapal Selam Pasopati.

Surabaya, 22 Agustus 2014
Zulkomar, Investigator KNKT