Buku “Pak Harto, The Untold Story” telah
diluncurkan pada 8 Juni 2011 lalu, bertepatan tanggal kelahiran mantan Presiden
Soeharto, 90 tahun yang lalu. Banyak ceritera sukses dan ceritera miris tentang
kepemimpinan SoeharTo selama 32 tahun berkuasa. Setiap orang melukiskan tentang
beliau sepanjang yang mereka ketahui dari sudut pandang mereka sendiri.
Tokoh-tokoh sejarah memang selalu memiliki banyak dimensi untuk diulas, tetapi
kisah-kisah dalam buku “Pak Harto The Untold Story” menampilkan sisi lain dari
keseharian Pak Harto yang mungkin luput dari amatan para jurnalis dan
penulis-penulis biografi beliau.
Salah satunya sketsa hidup seorang biasa yang bernama Munari Ari. Ia bukan
menteri, ajudan atau orang dekat Presiden RI kedua Soeharto. Tahun 1980-an ia
hanyalah seorang seniman jalanan alias pengamen. Kawasan operasinya mulai
perempatan Megaria hingga depan kampus Universitas Indonesia di Salemba. Dan
jika malam tiba, ia kerap menumpang tidur di depan kamar mayat Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo.
Saat-saat ia sedang memainkan gitarnya, menyanyikan dua atau tiga
lagu untuk mendapatkan kumpulan recehan dari mereka yang mendengar dan peduli,
Munari Ari kerap terpaksa harus menghentikan petikan gitarnya ketika iringan
mobil mewah melintasi jalan dimana ia mencari nafkah. Manuari Ari hafal betul
kalau iringan-iringan mobil yang membuatnya takjub tersebut akan melintas
setiap hari Rabu dan Jumat pada jam yang sama. Iringan mobil yang dikawal Pasukan Pengamanan Presiden ini membawa Pak Harto ke lapangan golf Rawamangun.
Biasanya sebelum matahari terbenam, rombongan kembali melintas pulang.
Bukan sekali dua kali Ari dan sahabatnya Herman Obos mencoba nekat
mendekat ke bibir jalan untuk melihat rombongan lebih jelas. Namun pengamanan
sangat ketat. Ia kerap diusir, bahkan pernah nyaris ditempeleng.
Pada hari Jumat di pertengahan 1986, Ari dan Obos, berhasil lolos
dari pantauan aparat. Di seberang Restoran Sasa kawasan Salemba, mereka berdua
berbaris tegak rapat sejajar. Masih memegang gitar dan biola, dengan sikap
sempurna begitu mobil Pak Harto melintas, mereka mengangkat tangan untuk
memberi hormat.
‘Upacara’ tanpa bendera ini rutin mereka lakukan setiap kali rombongan
Presiden melintas. Setelah sebulan berlalu, Ari dan Obos merasa setiap kali
lewat depan RSCM, rombongan mobil Presiden berjalan lebih lambat. Bulan
berikutnya, terjadi hal yang tidak terduga. Saat Ari dan Obos melangsungkan
acara penghormatan rutin, mobil dengan plat RI 1 berjalan makin pelan dan
bahkan mendekat.
Sejurus kemudian tepat di depan mereka, kaca hitam
jendela belakang mobil diturunkan perlahan dan muncullah senyuman khas
Soeharto. “Seketika itu juga, saya dan Obos memberi hormat dan berseru,
‘Selamat siang, Paaaak!’.”
Pak Harto seperti biasa tersenyum dan mengangguk. Sejak kejadian itu,
polisi tidak pernah lagi mengusir Ari dan Obos yang makin giat menghormat
setiap rombongan lewat.
Dan, siapa mengira kegiatan nekat dua remaja ini mengubah hidup mereka
kelak. Terkesan dengan aksi dua pengamen ini, Pak Harto pun mengutus putri
sulungnya Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut mencari dua remaja itu.
Bukan main senangnya Ari dan Obos saat itu. Mereka diajak ke Cendana, bahkan
ikut menyumbangkan dua lagu di hari ulang tahun pernikahan Pak Harto dan Bu
Tien.
Dia juga dikontrakkan rumah di kawasan Kramat, Jakarta Pusat.
Sandang pangan tercukupi. Sampai akhirnya ia merasa tidak bisa hanya
menerima uluran tangan terus. Ia pun melamar kerja di salah satu perusahaan
milik Tutut. Namun tahun 2000 ia memutuskan keluar. Kini Ari sukses menjalankan
usaha biro jasa miliknya sendiri.
Hanya untuk mengingatkan kembali.
Tulisan ini pernah di muat di
www.polkam.go.id. 18/2/2016