Jadilah konsumen cerdas agar dapat
terlahir
pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab.
Jadilah pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab
agar mendapatkan kepercayaan konsumen
Jadilah konsumen cerdas. Mengapa saya
menganjurkan konsumen untuk cerdas ? Itu karena konsumen selalu menjadi sasaran
empuk kampanye, advertising, iklan dan seruan-seruan pelaku usaha untuk membeli
dan mempergunakan produk-produknya. Bahkan pemerintahpun seolah-olah ikut dalam
barisan pelaku usaha dengan berbagai macam kampanye, seperti, “Konsumen yang
baik membeli produksi negeri sendiri”, “Jadilah konsumen yang nasionalis”,
“Cintailah produksi Dalam Negeri”, dan berbagai kampanye laiinya.
Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan kampanye “Cinta Produk Negeri Sendiri”. Hanya saja rasanya tidak adil
jika hanya konsumen yang dituntut mencintai produk negerinya. Pelaku usaha
dalam negeri juga harus dituntut untuk mempergunakan bahan baku produk dalam
negeri bagi setiap hasil produksinya. Dengan demikian baik konsumen maupun
pelaku usaha terikat dalam suatu semangat nasional mencintai produk negeri
sendiri.
Konsumen yang cerdas adalah konsumen
yang hanya membeli sesuai kebutuhannya, sesuai harapannya agar mendapatkan
produk yang memuaskan hatinya. Produk tersebut tentu saja harus memberi rasa
aman dan nyaman bagi konsumen. Jika produk dalam negeri mampu memberikan rasa
aman dan nyaman bagi konsumennya, maka kecintaan pada produksi dalam negeri akan
terlahir dengan sendirinya. Saya sangat percaya, hal itu dapat dicapai karena
saya yakin pelaku usaha dalam negeri tidak akan mengkhianati konsumen bangsanya
sendiri. Masalahnya bagaimana meyakinkan pelaku usaha bahwa selain mengejar
provit, mereka juga berkewajiban memberi jaminan rasa aman dan nyaman pada
konsumennya. Dengan demikian konsumen dalam negeri tidak ragu dan bimbang
membeli produk bangsanya sendiri.
Bagaimana mendidik diri menjadi
konsumen yang cerdas ? Pertama telitilah
sebelum membeli, jangan tergiur oleh nama suatu merk yang sering diiklankan dan
menjadi popular di layar kaca. Usahakan membeli secara langsung dan melihat
secara fisik barang yang akan kita beli. Untuk produk makanan dan minuman
pastikan kemasannya belum melampaui batas kadaluarsanya. sedangkan untuk barang
elektronik, pastikan bahwa produknya sesuai standar yang tertera dengan SNI
(Standar Nasional Indonesia). Pastikan pula bahwa produk tersebut telah
terdaftar di Kementerian Perdagangan dimana tertera nomor registrasi produk
(NRP) untuk produk dalam negeri, dan nomor pendaftaran barang (NPB) untuk
produk import.
Ada hal-hal yang kurang menjadi
perhatian konsumen karena sudah terlanjur percaya dengan merk sebuah produk,
yaitu membaca buku petunjuk penggunaan suatu barang elektronik. Apalagi sering
kita temui buku petunjuk begitu tebal dengan isinya yang rinci berbahasa Ingris
dan cina. Saat ini, konsumen dianjurkan untuk hanya membeli produk elektronik
yang memiliki buku petunjuk penggunaan (manual) berbahasa Indonesia. Jika tidak
ada petunjuk penggunaan berbahasa Indonesia, yakinkan bahwa produk tersebut
belum terdaftar dan mungkin juga produk dari pasar gelap. maka berhati-hatilah.
Konsumen juga harus teliti untuk memeriksa bahwa bahwa produk yang dibeli
memiliki kartu garansi resmi, bukan garansi dari toko. Tidak kalah pentingnya
adalah memastikan bahwa produk yang kita beli memiliki minimal 6 (enam) pusat
pelayanan purna jual di kota-kota besar.
Pertanyaannya kemudian bagaimana jika
suatu produk yang kita beli tidak memiliki standar seperti yang disyaratkan
tetapi telah beredar di pasaran, yang mungkin saja secara kasat mata produknya
sama dengan aslinya, tetapi harganya
sedikit lebih murah, atau tambahan iming-iming hadiah yang mengecoh
konsumen. Terlalu banyak cara dan strategi pemasaran dari pelaku usaha yang
sebenarnya merugikan konsumen, sehingga konsumen selalu menjadi korban
pemasaran yang tidak sesuai dengan mutu, keamanan dan kenyamanan.
Pemerintah sangat menyadari hal
tersebut sehingga keluarlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen. Selama 15 tahun konsumen tidak mengetahui bahwa mereka
adalah pihak yang dilindungi, sementara pemerintah juga kurang begitu gesit
mensosialisasikan undang-undang perlindungan konsumen. Jadi tidak heran jika
selama itu konsumen tetap saja menjadi sasaran pemasaran pelaku usaha, dan
konsumen selalu saja berada di pihak yang dirugikan tanpa tahu harus mengadu
kepada siapa. Sementara pelaku usaha terus saja mengejar besaran provit dan
kurang peduli pada mutu produknya. Padahal UU Perlindungan konsumen dilahirkan
untuk memberikan aturan main kepada pelaku usaha agar melakukan aktivitas
usahanya secara professional, jujur, beretika bisnis, tertib mutu, tertib ukur
yang memenuhi persyaratan perlindungan konsumen dimana barang yang diproduksi
dan diperdagangkan aman untuk digunakan oleh konsumen.
Siapa yang mengetahui, mengawasi dan
menindak jika ternyata pelaku usaha masih saja tidak mentaati aturan main yang
ditetapkan oleh undang-undang perlindungan konsumen ? Konsumen tentu saja sulit
mengadukan permasalahannya kepada pelaku usaha, karena konsumen hanya mengenal
produk usahanya. Sebaliknya pelaku usaha pun merasa tidak terlalu dituntut
untuk memenuhi kewajkibannya memberikan produk yang memenuhi standar karena
pelaku usaha tidak bersentuhan langsung dengan konsumen, tetapi melalui
perantara pemasaran, yaitu para pedagang.
Oleh karena itu diperlukan adanya pihak
lain yang punya power mempertemukan kepentingan pelaku usaha dan konsumen untuk
membina kedua-keduanya. Pihak lain tersebut adalah Direktorat Pengawasan Barang
Beredar dan Jasa (Direktorat (PBBJ) yang dengan kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang
berfungsi mengawasi lalu lintas barang dan jasa, terutama yang beredar di dalam
negeri. Direktorat inilah yang akan mengambil peran menumbuhkan kesadaran
masyarakat sebagai konsumen akan hak dan kewajibannya dalam memperoleh barang
dan jasa yang beredar di pasaran, sekaligus juga berperan menumbuhkan kesadaran
pelaku usaha agar mengutamakan kejujuran dan tanggungjawab kepada bangsa dan
negera dalam melemparkan produk dan jasanya kepada konsumen.
Masalahnya kemudian bagaimana
Direktorat PBBJ ini dapat menjaga wilayah peredaran barang dan jasa yang
tersebar luas di Indonesia sementara mata dan telinganya hanya berada di
wilayah provinsi dan tidak lagi mampu menjangkau wilayah kabupaten/kota.
Disinilah dituntut peran serta masyarakat untuk ikut membantu pengawasan barang
dan jasa yang tidak sesuai mutu yang diharapkan konsumen. Bagaimanapun juga kinerja
Direktorat PBBJ seluruhnya diorientasikan untuk melindungi konsumen. Agar dapat
terbangun kemitraan antara Direktorat PBBJ dengan konsumen atau Kelompok
Konsumen Peduli, atau apapun namanya, maka perlu dibangun simpul simpul
komunikasi formal maupun non formal. Simpul formal barangkali dengan membentuk
kelompok kerja konsumen peduli di kabupaten-kabupaten yang senantiasa diberikan
pelatihan dan bimbingan untuk melakukan pengawasan terhadap barang dan jasa
yang beredar. Atau dalam bentuk informal dimana masyarakat dapat memberikan
pengaduan ketika menemukan suatu produk barang atau jasa yang tidak sesuai
standar mutu yang ditentukan. Oleh karena itu, sangat diharapkan pihak
Direktorat PBBJ membuka pos-pos pengaduan, atau stiker-stiker yang memberi petunjuk
tentang pihak atau nomorb panggilan yang bisa dihubungi masyarakat jika
menemukan produk yang tidak sesuai standar mutu yang disyaratkan.
Inilah pesan terakhir. “Jadilah
konsumen cerdas agar dapat terlahir pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab. Jadilah pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab agar
mendapatkan kepercayaan konsumen.”
Zulkomar
Jakarta, 31 Januari 2015