KONSUMEN CERDAS, PELAKU USAHA BERTANGGUNGJAWAB

Senin, 04 Januari 2016


Jadilah konsumen cerdas agar dapat terlahir
pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.
Jadilah pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab
agar mendapatkan kepercayaan konsumen

Jadilah konsumen cerdas. Mengapa saya menganjurkan konsumen untuk cerdas ? Itu karena konsumen selalu menjadi sasaran empuk kampanye, advertising, iklan dan seruan-seruan pelaku usaha untuk membeli dan mempergunakan produk-produknya. Bahkan pemerintahpun seolah-olah ikut dalam barisan pelaku usaha dengan berbagai macam kampanye, seperti, “Konsumen yang baik membeli produksi negeri sendiri”, “Jadilah konsumen yang nasionalis”, “Cintailah produksi Dalam Negeri”, dan berbagai kampanye laiinya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kampanye “Cinta Produk Negeri Sendiri”. Hanya saja rasanya tidak adil jika hanya konsumen yang dituntut mencintai produk negerinya. Pelaku usaha dalam negeri juga harus dituntut untuk mempergunakan bahan baku produk dalam negeri bagi setiap hasil produksinya. Dengan demikian baik konsumen maupun pelaku usaha terikat dalam suatu semangat nasional mencintai produk negeri sendiri.

Konsumen yang cerdas adalah konsumen yang hanya membeli sesuai kebutuhannya, sesuai harapannya agar mendapatkan produk yang memuaskan hatinya. Produk tersebut tentu saja harus memberi rasa aman dan nyaman bagi konsumen. Jika produk dalam negeri mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi konsumennya, maka kecintaan pada produksi dalam negeri akan terlahir dengan sendirinya. Saya sangat percaya, hal itu dapat dicapai karena saya yakin pelaku usaha dalam negeri tidak akan mengkhianati konsumen bangsanya sendiri. Masalahnya bagaimana meyakinkan pelaku usaha bahwa selain mengejar provit, mereka juga berkewajiban memberi jaminan rasa aman dan nyaman pada konsumennya. Dengan demikian konsumen dalam negeri tidak ragu dan bimbang membeli produk bangsanya sendiri.

Bagaimana mendidik diri menjadi konsumen yang cerdas ?  Pertama telitilah sebelum membeli, jangan tergiur oleh nama suatu merk yang sering diiklankan dan menjadi popular di layar kaca. Usahakan membeli secara langsung dan melihat secara fisik barang yang akan kita beli. Untuk produk makanan dan minuman pastikan kemasannya belum melampaui batas kadaluarsanya. sedangkan untuk barang elektronik, pastikan bahwa produknya sesuai standar yang tertera dengan SNI (Standar Nasional Indonesia). Pastikan pula bahwa produk tersebut telah terdaftar di Kementerian Perdagangan dimana tertera nomor registrasi produk (NRP) untuk produk dalam negeri, dan nomor pendaftaran barang (NPB) untuk produk import.

Ada hal-hal yang kurang menjadi perhatian konsumen karena sudah terlanjur percaya dengan merk sebuah produk, yaitu membaca buku petunjuk penggunaan suatu barang elektronik. Apalagi sering kita temui buku petunjuk begitu tebal dengan isinya yang rinci berbahasa Ingris dan cina. Saat ini, konsumen dianjurkan untuk hanya membeli produk elektronik yang memiliki buku petunjuk penggunaan (manual) berbahasa Indonesia. Jika tidak ada petunjuk penggunaan berbahasa Indonesia, yakinkan bahwa produk tersebut belum terdaftar dan mungkin juga produk dari pasar gelap. maka berhati-hatilah. Konsumen juga harus teliti untuk memeriksa bahwa bahwa produk yang dibeli memiliki kartu garansi resmi, bukan garansi dari toko. Tidak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa produk yang kita beli memiliki minimal 6 (enam) pusat pelayanan purna jual di kota-kota besar.

Pertanyaannya kemudian bagaimana jika suatu produk yang kita beli tidak memiliki standar seperti yang disyaratkan tetapi telah beredar di pasaran, yang mungkin saja secara kasat mata produknya sama dengan aslinya, tetapi harganya  sedikit lebih murah, atau tambahan iming-iming hadiah yang mengecoh konsumen. Terlalu banyak cara dan strategi pemasaran dari pelaku usaha yang sebenarnya merugikan konsumen, sehingga konsumen selalu menjadi korban pemasaran yang tidak sesuai dengan mutu, keamanan dan kenyamanan.

Pemerintah sangat menyadari hal tersebut sehingga keluarlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Selama 15 tahun konsumen tidak mengetahui bahwa mereka adalah pihak yang dilindungi, sementara pemerintah juga kurang begitu gesit mensosialisasikan undang-undang perlindungan konsumen. Jadi tidak heran jika selama itu konsumen tetap saja menjadi sasaran pemasaran pelaku usaha, dan konsumen selalu saja berada di pihak yang dirugikan tanpa tahu harus mengadu kepada siapa. Sementara pelaku usaha terus saja mengejar besaran provit dan kurang peduli pada mutu produknya. Padahal UU Perlindungan konsumen dilahirkan untuk memberikan aturan main kepada pelaku usaha agar melakukan aktivitas usahanya secara professional, jujur, beretika bisnis, tertib mutu, tertib ukur yang memenuhi persyaratan perlindungan konsumen dimana barang yang diproduksi dan diperdagangkan aman untuk digunakan oleh konsumen.

Siapa yang mengetahui, mengawasi dan menindak jika ternyata pelaku usaha masih saja tidak mentaati aturan main yang ditetapkan oleh undang-undang perlindungan konsumen ? Konsumen tentu saja sulit mengadukan permasalahannya kepada pelaku usaha, karena konsumen hanya mengenal produk usahanya. Sebaliknya pelaku usaha pun merasa tidak terlalu dituntut untuk memenuhi kewajkibannya memberikan produk yang memenuhi standar karena pelaku usaha tidak bersentuhan langsung dengan konsumen, tetapi melalui perantara pemasaran, yaitu para pedagang. 

Oleh karena itu diperlukan adanya pihak lain yang punya power mempertemukan kepentingan pelaku usaha dan konsumen untuk membina kedua-keduanya. Pihak lain tersebut adalah Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (Direktorat (PBBJ) yang dengan kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang berfungsi mengawasi lalu lintas barang dan jasa, terutama yang beredar di dalam negeri. Direktorat inilah yang akan mengambil peran menumbuhkan kesadaran masyarakat sebagai konsumen akan hak dan kewajibannya dalam memperoleh barang dan jasa yang beredar di pasaran, sekaligus juga berperan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha agar mengutamakan kejujuran dan tanggungjawab kepada bangsa dan negera dalam melemparkan produk dan jasanya kepada konsumen.

Masalahnya kemudian bagaimana Direktorat PBBJ ini dapat menjaga wilayah peredaran barang dan jasa yang tersebar luas di Indonesia sementara mata dan telinganya hanya berada di wilayah provinsi dan tidak lagi mampu menjangkau wilayah kabupaten/kota. Disinilah dituntut peran serta masyarakat untuk ikut membantu pengawasan barang dan jasa yang tidak sesuai mutu yang diharapkan konsumen. Bagaimanapun juga kinerja Direktorat PBBJ seluruhnya diorientasikan untuk melindungi konsumen. Agar dapat terbangun kemitraan antara Direktorat PBBJ dengan konsumen atau Kelompok Konsumen Peduli, atau apapun namanya, maka perlu dibangun simpul simpul komunikasi formal maupun non formal. Simpul formal barangkali dengan membentuk kelompok kerja konsumen peduli di kabupaten-kabupaten yang senantiasa diberikan pelatihan dan bimbingan untuk melakukan pengawasan terhadap barang dan jasa yang beredar. Atau dalam bentuk informal dimana masyarakat dapat memberikan pengaduan ketika menemukan suatu produk barang atau jasa yang tidak sesuai standar mutu yang ditentukan. Oleh karena itu, sangat diharapkan pihak Direktorat PBBJ membuka pos-pos pengaduan, atau stiker-stiker yang memberi petunjuk tentang pihak atau nomorb panggilan yang bisa dihubungi masyarakat jika menemukan produk yang tidak sesuai standar mutu yang disyaratkan.

Inilah pesan terakhir. “Jadilah konsumen cerdas agar dapat terlahir pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab. Jadilah pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab agar mendapatkan kepercayaan konsumen.”

Zulkomar
Jakarta, 31 Januari 2015